3 Film tentang Rasisme yang Diangkat dari Kisah Nyata

Hingga saat ini, terdapat berbagai tema film yang dapat dinikmati saat waktu senggang. Tema-tema tersebut dimasukkan ke dalam genre film seperti romance, comedy, sci-fi, adventure, dan fantasy agar semakin menarik. Pada hakikatnya, film dimaksukan untuk memenuhi kebutuhan hiburan bagi masyarakat, namun ada juga film yang bertujuan untuk menarik simpati penonton sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian di masa lalu. Film-film seperti ini seringkali mengambil isu-isu sosial seperti peperangan, rasisme, kemiskinan, atau diskriminasi.

Salah satu isu sosial yang telah diangkat menjadi film yaitu berkaitan dengan rasisme. Orang-orang yang mendapatkan perlakuan rasis harus berjuang untuk bertahan hidup meskipun mereka harus hidup dengan penuh rintangan. Orang-orang tersebut menggunakan cara yang berbeda-beda dalam menyikapi perlakuan yang tidak adil terhadap mereka. Kisah perjuangan mereka pada akhirnya diangkat menjadi film yang penuh simpatik. Berikut, saya rekomendasikan 3 film tentang rasisme yang dibuat berdasarkan kisah nyata.

1. 12 Years a Slave (2013)


Kehidupan Solomon Northup dan keluarganya telah telah berlangsung dengan nyaman di rumah yang hangat di Saratoga, New York. Solomon dan keluarganya adalah orang yang bebas dan ia memiliki pekerjaan yang bagus sebagai pemain biola. Namun, pada suatu hari, Solomon berkenalan dengan dua pemuda yang menawarinya posisi dalam sirkus mereka. Disitulah awal dari perubahan hidup Solomon karena sebenarnya ia dijebak untuk dijual menjadi budak. Solomon dijual dengan harga tinggi karena kemampuan yang dimilikinya dan ia diberi nama Platt. Diri Solomon tidak bisa menerima ketidakadilan yang dialaminya, ia bersikukuh mennyatakan dirinya adalah orang yang bebas, namun tidak ada yang percaya karena dia tidak memiliki identitas pembuktiannya.

Majikan pertama yang membeli Solomon adalah Ford Chapin, seorang penjaga hutan kayu. Solomon senantiasa memberikan saran yang cemerlang kepada Ford sehingga membuat John Tibeats (kepala tukang kayu)  iri. Akhirnya John Tibeats menggantung Solomon dan segera membiarkannya karena Solomon adalah budak kesayangan Ford. Solomon yang tergantng akhirnya ditolong oleh Ford dan dipindahkan ke tuan yang lain agar John tidak mengusiknya lagi.

Majikan kedua Solomon adalah Edwin Epps yang memiliki kebun kapas. Perangai Mr.Epps tidaklah baik, ia tidak segan memnggantung budak yang tidak bisa mencapai target. Suatu saat kebun kapas yang dimilikinya terserang hama, sehingga para budak disewakan ke perkebunan Mr. Turner untuk memanen tebu. Di perkebunan Mr. Turner Solomon meminta tolong budak berkulit putih untuk mengirimkan suratnya, namun orang tersebut malah membocorkan niat Solomon ke majikannya. Setelah, kebun milik Mr. Epps sudah dapat dipanen kembali, para budak kembali. Ada saat Solomon membantu pembuatan rumah, disana Mr. Epps dan Mr. Bass berbincang tentang perbudakan yang seharusnya dihapuskan. Solomon paham bahwa Mr. Bass adalah orang yang tepat untuk dimintai tolong. Suatu ketika mereka hanya berdua, Solomon menceritakan kisahnya dan meminta Mr. Bass membantunya mengirim surat ke teman Solomon di utara. Kebaikan Mr. Bass akhirnya dapat membebaskan Solomon dari perbudakan yang dialaminya selama dua belas tahun.

Jika diperhatikan Solomon memang hanya mengikuti alur tugas yang diberikan kepadanya sebagai budak sembari memikirkan nasibnya. Namun, majikan pertamanya, Ford memberikan Solomon biola untuk dimainkan memberikannya semangat. Perjuangan yang dilakukan Solomon adalah memberikan kontribusi terbaik bagi para tuannya untuk bertahan hidup. Tidak selamanya buruk, takdir baik telah membantunya melalui pertemuannya dengan Mr. Bass. Setelah bebas, Solomon aktif dalam kegiatan anti perbudakan dengan memberikan kuliah tentang perbudakan ke seluruh Amerika Serikat, serta ia juga aktif membantu pelarian budak melalui jalur kereta api bawah tanah.

2. Harriet (2019)


Perbudakan yang terjadi di Amerika pada abad 18 hingga 19 menjadi latar setting film Harriet. Seorang wanita kulit hitam bernama Minty telah menjadi budak sejak lahir. Selama menjadi budak ia pun mengalami masa-masa kelam seperti kekerasan dari majikannya dan dijualnya saudara perempuannya saat Minty tak sadarkan diri. Hal tersebut memberikan trauma yang dalam bagi Minty, namun ia memiliki suami yang bebas disisinya yang senantiasa memberi dukungan. Minty memiliki kemampuan melihat masa depan ketika ia mendapat pukulan di keningnya saat kecil sehingga menyebabkan dirinya tak sadarkan diri. Kemampuan tersebut yang membuatnya berusaha untuk pergi menuju kebebasan.

Kematian majikannya membuat sang ahli waris ingin menjual Minty. Mengetahui hal tersebut, Minty akhirnya kabur dari perkebunan dengan kepercayaannya kepada Tuhan untuk memberikan keselamatan dalam perjalananya. Minty menuju Philadelphia untuk menemukan gerakan anti perbudakan. Disana dia mendapatkan nama baru yaitu Harriet Tubman, yang berasal dari nama ibunya dan suaminya.
Rasisme secara umum menganggap bahwa suatu ras lebih superior dari ras lainnya, sehingga anggapan ini telah menciptakan perbudakan di Amerika pada saat itu. Kekejaman dari rasisme ini menekan tokoh utama untuk memperjuangkan hak sipil yang seharusnya ia dapatkan sejak ia dilahirkan. Hak itu tidak pernah terpenuhi karena Ibu Harriet tidak dibebaskan meskipun majikan yang memilikinya meninggal. Hal ini membuat Harriet dan saudarinya terlahir sebagai budak. Keadaan tersebut memberikannya pilihan untuk bebas atau mati, karena ia memilih bebas maka ia memperjuangkan hak sipilnya dengan sangat gigih. Kegigihannya dibarengi dengan sifat keras kepala memberinya motivasi untuk memperjuangkan kebebasan budak-budak lainnya.

3. Green Book (2018)


Berbeda dengan Harriet, film Green Book berlatar tahun 1962 saat rasisme pascakolonial terus berlanjut. Permulaan cerita dalam film ini bermula dari Tony Lip yang diberhentikan sementara dari pekerjaannya karena adanya renovasi. Secara pribadi Tony Lip adalah orang yang tidak menyukai kaum kulit hitam, namun pada akhirnya ia mendapat interview sebagai supir bagi pianis kulit hitam kelas dunia, Dr. Don Shirley, untuk mengantarnya melakukan tur trio dengan berbekal Green Book (Buku panduan perjalanan aman bagi kaum kulit hitam) sebagai panduan perjalanannya.

Tony Lip yang memiliki kemampuan membual yang tanpa sengaja sesekali menyinggung perasaan Dr. Don Shirley mengenai prasangka-prasangka terhadap kulit hitam pada umumnya. Dr. Don Shirley hanya mampu memendam perasannya karena beliau berusaha untuk tetap berkelas. Hingga tiba pada salah satu scene, dimana Tony merasa puas karena bisa bebas dari penjara karena orang dalam, sebaliknya Dr. Don Shirley menganggap bahwa hal tersebut begitu merendahkan diri. Sehingga, tanpa sadar Tony menyinggung Dr. Shirley karena tidak memahami kaumnya sendiri, karena beliau tidak mengenal budaya kaumnya. Disitulah Dr. Don Shirley meminta untuk diturunkan dan mengungkapkan semua unek-uneknya.

Dalam perjalanan turnya, Dr. Don Shirley menerima perlakuan rasisme dari orang kulit putih seperti perundungan di bar, tidak boleh memakai toilet dalam rumah, diberhentikan polisi karena jam malam bagi kulit hitam, maupun tidak diperbolehkannya makan di restoran tempat ia bermain piano selama melakukan perjalanan turnya. Selain itu, dari pandangan kulit hitam sendiri, Dr. Don Shirley adalah orang yang berbeda karena terlihat berkelas seperti pada scene dimana beliau menolak ajakan untuk bermain, lalu mereka mengejke beliau atau ketika beliau diperhatikan oleh banyak pekerja kulit hitam di sawah karena berada dalam mobil yang mewah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa posisi Dr. Don Shirley berada si tempat yang sulit.

Perjuangan Dr. Don Shirley dalam mencari eksistensi kesetaraan menggunakan suatu istilah yang disebut mimikri. Mimikri yaitu menyerupai, dengan kata lain Dr. Don Shirley menyerupai budaya orang-orang kulit putih untuk mematahkan prasangka terhadap kaumnya. Dapat dikatakan bahwa Dr. Don Shirley tidak secara terang-terangan melawan kesenjangan terhadap kaumnya dengan kemampuan yang dimilikinya serta menjadi orang yang berkelas menjadi bentuk perlawanannya. 

Dalam menutup kebahagiaan dalam film ini diceritakan bahwa Tony Lip dan Dr. Don Shirley akhirnya bersahabat. Perjalanan tur memberikan banyak pelajaran kepada kedua belah pihak. Bagaimana menurut kalian, apakah kalian tertarik menonton film ini?
 
 

Komentar

Postingan Populer